Kamis, 16 Juli 2009

CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )


CKD ATAU GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan insiden, prevalensi, biaya yang tinggi dan “outcome” yang buruk (NKF, 2004). Penyakit utama yang berpengaruh pada GGK adalah diabetes (33-40%), hipertensi (27%) dan glomerulonefritis (11%) (Krauss and Hak, 2000). Prevalensi hipertensi dalam menyebabkan GGK menempati urutan kedua, tetapi merupakan penyakit yang berpotensi dalam menyebabkan kerusakan organ vital terutama jantung, otak dan ginjal (Lingappa, 1995). Terjadinya hipertensi mempercepat kerusakan ginjal dan konsekuensinya adalah terjadinya gagal ginjal akibat peningkatan tekanan darah. Kira-kira 90% pasien GGK dengan hipertensi meninggal dalam 12 bulan dari tanda-tanda awal (Critchley, Chan and Cumming, 1997).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA CKD ATAU GGK

chronic-kidney-desease

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)

Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

B. ETIOLOGI
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
• Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :
- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1.Pemeriksaan lab.darah
- hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
- RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
- LFT (liver fungsi test )
- Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
- koagulasi studi
PTT, PTTK
- BGA
2. Urine
- urine rutin
- urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler
- ECG
- ECO
4. Radidiagnostik
- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG ( retio pielografi )

E. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )
c) Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis
8. resti terjadinya infeksi

J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi.
a. Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami.
b. Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ).
c. Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.
e. Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Mau askep lengkap ckd? silahkan klik disini, tapi jangan lupa kasih komentarnya ya….thanks

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DHF

1.Pengertian

DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).

2.Etiologi

Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.

3.Patofisiologi

Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

4.Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.

5.Diagnosis

Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b. Manifestasi perdarahan :
1)Uji tourniquet positif
2)Petekia, purpura, ekimosis
3)Epistaksis, perdarahan gusi
4)Hematemesis, melena.
c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d. Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

6.Klasifikasi

DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
a.Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi.
b.Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
c.Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
d.Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

7.Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.
Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.

8.Diagnosa Banding

Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a.Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b.Demam tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
c.Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
d.Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.

9.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
a.Tirah baring atau istirahat baring.
b.Diet makan lunak.
c.Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
d.Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
e.Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f.Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g.Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
h.Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
i.Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
j.Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
k.Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
a.Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
b.Hematokrit yang cenderung mengikat.

10.Pencegahan

Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
a.Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
b.Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
c.Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d.Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a.Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b.Tanpa insektisida
Caranya adalah :
1)Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
2)Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
3)Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi).
1.Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a.Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
1.)Lemah.
2.)Panas atau demam.
3.)Sakit kepala.
4.)Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5.)Nyeri ulu hati.
6.)Nyeri pada otot dan sendi.
7.)Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
8.)Konstipasi (sembelit).
b.Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
1)Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
2)Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3)Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
4)Hiperemia pada tenggorokan.
5)Nyeri tekan pada epigastrik.
6)Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7)Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
1)Ig G dengue positif.
2)Trombositopenia.
3)Hemoglobin meningkat > 20 %.
4)Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
5)Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
1)SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2)Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3)Waktu perdarahan memanjang.
4)Asidosis metabolik.
5)Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
2.Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu :
a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
f.Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
h.Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
3.Perencanaan Keperawatan
a.Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Tujuan :
Suhu tubuh normal (36 – 370C).
Pasien bebas dari demam.
Intervensi :
5)Kaji saat timbulnya demam.
Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

6)Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
7)Anjurkan pasien untuk banyak minum  2,5 liter/24 jam.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
8)Berikan kompres hangat.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
9)Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.
10)Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
b.Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
Tujuan :
Rasa nyaman pasien terpenuhi.
Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1)Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2)Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
3)Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
4)Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.
c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi :
1)Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2)Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien.
3)Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .
4)Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.
5)Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
6)Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.
7)Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien
d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
Intervensi :
1)Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
2)Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.
3)Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
4)Anjurkan pasien untuk banyak minum.
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
5)Catat intake dan output.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
e.Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan :
Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi :
1)Kaji keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.
2)Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
3)Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.
4)Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
f.Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh
Tujuan :
Tidak terjadi syok hipovolemik.
Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Keadaan umum baik.
Intervensi :
1)Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.
2)Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.
3)Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
4)Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
5)Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.
6)Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.
g.Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).
Tujuan : – Tidak terjadi infeksi pada pasien.
Intervensi :
1)Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.
Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.
2)Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.
3)Observasi daerah pemasangan infus.
Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.
4)Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.
h.Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
Tujuan :
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
Jumlah trombosit meningkat.
Intervensi :
1)Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
2)Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.
3)Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.
4)Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.
i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan : – Kecemasan berkurang.
Intervensi :
1)Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.
2)Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.
3)Tunjukkan sifat empati
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.
4)Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.
5)Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

4.Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.

5.Evaluasi Keperawatan.

Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
a.Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b.Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
c.Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
d.Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
e.Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
f.Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
g.Infeksi tidak terjadi.
h.Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
i.Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.

Sumber:
1.Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.
2.Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.
3.Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
4.Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIV/AIDS



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan data statistik, peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia begitu cepat. Apalagi, ternyata dasar penularan awal epidemi ini disebabkan oleh jarum suntik. Diperkirakan saat ini terdapat lebih dari 1,3 juta penderita HIV dan AIDS akibat jarum suntik. Jika terus berlanjut, maka diperkirakan pada tahun 2020 jumlah itu akan meningkat menjadi 2,3 juta orang. 46 persen di antaranya adalah pengguna narkoba suntik. Oleh karena itu, setiap lini di tataran masyarakat dan pemerintah Indonesia perlu bekerja sama melakukan penanganan secara cepat, membangun dan mengelola sistem jangka panjang, serta memperbaiki sistem pelayanan kesehatan dan distribusi yang lemah (http://www.technologyindonesia.com)

Dan sebagai tenaga kesehatan, perawat sebagai mitra bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penatalaksanaannya sebagai bentuk tuntutan masyarakat agar penderita dan penyebaran HIV/AIDS dapat tertangani secara komprehensif.

Adapun yang melatarbelakangi penulisan makalah ini selain merupakan tugas kelompok juga merupakan materi bahasan dalam mata kuliah Keperawatan Medical Bedah. Dimana mahasiswa dari setiap kelompok akan membahas materi, sesuai judul materi yang telah ditugaskan kepada masing-masing kelompok. Dalam makalah ini akan dibahas tentang “AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome)” yang merupakan penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh manusia, yang dapat memudahkan atau membuat rentan si pendertia terhadap penyakit dari luar maupun dari dalam tubuh. AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh Human Immuno-deficiency Virus (HIV).

2. Tujuan Instruksional

Tujuan Instruksional Umum :
Setelah disusun makalah ini mahasiswa keperawatan mampu memahami efektifitas Asuhan Keperawatan pada klien dengan HIV/AIDS sesuai dengan Pendekatan Proses Keperawatan

Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah disusun makalah ini mahasiswa keperawatan mampu:
1.Menjelaskan Latar Belakang penyusunan makalah tentang HIV/AIDS
2.Menjelaskan Tujuan Umum & Khusus dari pembelajaran HIV/AIDS
3.Memahami Manfaat Penulisan makalah tentang HIV/AIDS
4.Memahami Ruang Lingkup HIV/AIDS
5.Menjelaskan Konsep Dasar Penyakit HIV/AIDS
6.Memahami Pengertian HIV/AIDS
7.Memahami Anatomi Fisiologi HIV/AIDS
8.Memahami Patofisiologi HIV/AIDS
9.Memahami Tanda dan Gejala HIV/AIDS
10.Memahami Penatalaksanaan Medis / keperawatan HIV/AIDS
11.Asuhan Keperawatan pada klien HIV/AIDS


3. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini antara lain :
Bagi Pendidikan:
1.Sebagai bahan pertanggungjawaban mahasiswa dalam mengerjakan tugas kelompok dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
2.Sebagai bahan penilaian terhadap tugas yang di berikan terhadap mahasiswa ; baik dalam penyusunan makalah maupun presentasi makalah.
Bagi Mahasiswa:
1.Sebagai bahan pembelajaran dalam diskusi kelompok.
2.Mahasiswa mampu menguasai bahan makalah dan mempresentasikan hasil diskusi kelompok
3.Mahasiswa memiliki pengetahuan dan kemampuan di dalam merawat atau menangani kasus HIV/AIDS.

BAB II
ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME
(AIDS)

Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian
1.AIDS atauAcquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.
Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan
Immune : Sistem kekebalan tubuh
Deficiency : Kekurangan
Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit
2.Kerusakan progrwsif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA ( orang dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal.
3.AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir )
4.AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )
5.AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )
6.AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

2. Anatomi Fisiologi

HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Termasuk salah satu retrovirus yang secara khusus menyerang sel darah putih (sel T). Retrovirus adalah virus ARN hewan yang mempunyai tahap ADN. Virus tersebut mempunyai suatu enzim, yaitu enzim transkriptase balik yang mengubah rantai tunggal ARN (sebagai cetakan) menjadi rantai ganda kopian ADN (cADN). Selanjutnya, cADN bergabung dengan ADN inang mengikuti replikasi ADN inang. Pada saat ADN inang mengalami replikasi, secara langsung ADN virus ikut mengalami replikasi.
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.

3. Etiologi

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Padahal, penyakit-penyakit tersebut misalnya berbagai virus, cacing, jamur protozoa, dan basil tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal. Selain penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena kanker. Dengan demikian, gejala AIDS amat bervariasi.

Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV (Human Immuno-deficiency Virus). Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar infeksi disebabkan HIV-1, sedangkan infeksi oleh HIV-2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi HIV-1 memberi gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai infeksi (masuknya virus ke tubuh) sampai timbulnya penyakit lebih pendek.

4. Patofisiologi

Setelah terinfeksi HIV, 50-70% penderita akan mengalami gejala yang disebut sindrom HIV akut. Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus pada umumnya yaitu berupa demam, sakit kepala, sakit tenggorok, mialgia (pegal-pegal di badan), pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun. Sindrom ini biasanya akan menghilang dalam beberapa mingggu. Dalam waktu 3 – 6 bulan kemudian, tes serologi baru akan positif, karena telah terbentuk antibodi. Masa 3 – 6 bulan ini disebut window periode, di mana penderita dapat menularkan namun secara laboratorium hasil tes HIV-nya masih negatif.

Setelah melalui infeksi primer, penderita akan masuk ke dalam masa tanpa gejala. Pada masa ini virus terus berkembang biak secara progresif di kelenjar limfe. Masa ini berlangsung cukup panjang, yaitu 5 10 tahun. Setelah masa ini pasien akan masuk ke fase full blown AIDS.
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.
a.Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C
1.Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2.Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )
3.Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
b.Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1.Angiomatosis Baksilaris
2.Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi
3.Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
4.Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5.Leukoplakial yang berambut
6.Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
7.Idiopatik Trombositopenik Purpura
8.Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
c.Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1.Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2.Kanker serviks inpasif
3.Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4.Kriptokokosis ekstrapulmoner
5.Kriptosporidosis internal kronis
6.Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7.Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8.Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9.Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10.Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
11.Isoproasis intestinal yang kronis
12.Sarkoma Kaposi
13.Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14.Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
15.M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
16.Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
17.Pneumonia Pneumocystic Cranii
18.Pneumonia Rekuren
19.Leukoenselophaty multifokal progresiva
20.Septikemia salmonella yang rekuren
21.Toksoplamosis otak
22.Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)

5. Tanda dan Gejala Penyakit AIDS

Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang ditemui pada penderita AIDS :
Panas lebih dari 1 bulan,
Batuk-batuk,
Sariawan dan nyeri menelan,
Badan menjadi kurus sekali,
Diare ,
Sesak napas,
Pembesaran kelenjar getah bening,
Kesadaran menurun,
Penurunan ketajaman penglihatan,
Bercak ungu kehitaman di kulit.

Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena dapat merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di Indonesia, misalnya gejala panas dapat disebabkan penyakit tipus atau tuberkulosis paru. Bila terdapat beberapa gejala bersama-sama pada seseorang dan ia mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang mudah tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes darah HIV.

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.

Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal
1.Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.
2.Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.
3.Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.

Komplikasi

Berdasarkan data-data hasil penilaian komplikasi yang mungkin terjadi mencakup : (Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth ed. 8, EGC, Jakarta, 2001: 1734)
Infeksi oportunistik
Kerusakan pernapasan atau kegagalan respirasi
Syndrome pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan.

Penyakit yang Sering Menyerang Perilaku AIDS

Dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh, penderita menjadi lebih mudah terserang penyakit infeksi maupun kanker. Bahkan penyakit-penyakit inilah yang sering menjadi penyebab kematian penderita. Infeksi yang timbul karena melemahnya kekebalan tubuh ini disebut infeksi oportunistik. Sebagian besar penyakit infeksi yang timbul merupakan reaktivasi (pengaktifan kembali) kuman yang sudah ada pada penderita, jadi bukan merupakan infeksi baru. Sementara itu, untuk infeksi parasit/jamur tergantung prevalensi parasit/jamur di daerah tersebut. Berikut penyakit yang ditemukan pada penderita AIDS :
Kandidiasis oral dan esophagus,
Tuberkulosis paru/ekstrapulmoner,
Infeksi virus sitomegalo,
Pneumonia rekurens,
Ensefalitis toksoplasma,
Pneumonia P. Carinii,
Infeksi virus herpes simpleks.

Atau dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan,gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.


6. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

Walau belum ada obat penyembuh AIDS, namun telah ditemukan beberapa obat yang dapat menghambat infeksi HIV dan beberapa obat yang secara efektif dapat mengatasi infeksi. Jadi sebagian besar masalah klinik dapat diobati, kualitas hidup dapat diperbaiki dan harapan hidup dapat ditingkatkan.

Pada umumnya pengobatan penderita AIDS dapat dibagi menjadi 3 yaitu pengobatan terhadap HIV, pengobatan terhadap infeksi oportunistik, dan pengobatan pendukung seperti nutrisi, olahraga, tidur, psikososial, dan agama.

Penularan Penyakit AIDS

Biaya pengobatan penyakit ini amat mahal, padahal hasilnya pun masih belum memuaskan, karena itu akan lebih baik mencegah timbulnya penyakit ini bila dibandingkan mengobati. Untuk melakukan upaya pencegahan perlu diketahui bagaimana cara penularan penyakit ini.

Pada prinsipnya penularan penyakit ini dapat melalui hubungan seksual, parenteral, dan perinatal. Kendati efektifitas penularan seksual sangat kecil dibandingkan jalur penularan lain, yaitu berkisar 0,1 – 1 %, tetapi karena frekuensi kejadiannya sangat besar maka prosentase penularan HIV secara seksual akhirnya menjadi sangat besar.

Cara Penularan

Berikut cara penularan AIDS di Indonesia
1.Hubungan seksual
2.Pengguna narkotika suntik bergantian
3.Perinatal
4.Tranfusi darah
5.Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
6.Alat-alat untuk menoreh kulit

Penatalaksanaan

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1.Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2.Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3.Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5.Mencegah infeksi ke janin / bayi baru lahir.

TERAPI MEDIS

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
a.Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b.Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c.Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
– Didanosine
– Ribavirin
– Diedoxycytidine
– Recombinant CD 4 dapat larut
d.Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e.Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
f.Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

MANAJEMEN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor risiko yang potensial, termasuk praktik seksual yang berisiko dan penggunaan obat-obatan Intravena. Status fisik dan psikologis pasien harus di nilai. Semua factor yang mempengaruhi fungsi system imun perlu digali dengan seksama.

Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenalai factor-faktor yang dapat menggangu asupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu, kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus dinilai. Pertimbangan berat badan, pengukuran antropometrik, pemeriksaan kadar BUN (blood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transperin akan memberikan parameter status nutrisi yang objektif.

Kulit dan membrane mukosa diinspeksi setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan , ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare profus. Pemeriksaan kultur luka dapat dimintakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang infeksius.

Status respiratorius dimulai dengan pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek dan ortopnea, takipnea, dan nyeri dada. Keberadaan suara pernapasan dan sifatnya juga harus diperiksa. Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto roentgen thoraks, hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru.

Status neurologist ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien, orientasinya terhadap orang, tempat dan waktu serta ingatan yang hilang. Pasien juga di nilai untuk mendeteksi gangguan sensorik (perubahan visual, sakit kepala, patirasa dan parestesia pada ekstremitas) serta gangguan motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau paralysis) dan serangan kejang.
Status cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta membrane mukosa untuk menetukan turgor dan kekeringan. Peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urin, tekanan darah yang rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 mm Hg dengan disertai kenaikan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urin sebesar 1,025 atau lebih, menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida dalam serum secara khas akan terjadi karena diare hebat.

Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit ; tanda-tanda ini mencakup penurunan status mental, kedutan otot, denyut nadi yang tidak teratur, mual serta vomitus, dan pernapasan yang dangkal.

Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit harus di evaluasi. Disamping itu, tingkat tingkat pengetahuan keluarga dan sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting yang harus di gali. Reaksi dapat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lainnya dan dapat mencakup penolakan, amarah, rasa takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan social dan depresi. Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stress utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumber-sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya juga harus diidentifikasi.

Diagnosa
Daftar diagnosa keperawatan yang mungkin dibuat sangat luas karena sifat penyakit AIDS yang amat kompleks.

1.Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan manifestasi HIV ekskoriasi dan diare.
2.Diare yang berhubungan dengan kuman pathogen pada usus dan atau infeksi HIV.
3.Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi.
4.Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dan hipoksia yang yang menyertai infeksi paru.
5.Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang menyertai ensefelopati HIV.
6.Bersihan saluran napas tidak efektif yang berhubungan dengan pneumonia pneumocystis carinii (PCP), peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk yang menyertai kelemahan serta keadaan mudah letih.
7.Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal akibat diare, sarcoma Kaposi dan neuropati perifer.
8.Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan penurunan asupan oral.
9.Isolasi social yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari system pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan apabila dirinya menulari orang lain.
10.Berduka diantisipasi yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta peranannya dan dengan prognosis yang tidak menyenangkan.
11.Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah HIV dan perawatan mandiri.

3. Intervensi Keperawatan

3. 1. Meningkatkan integritas kulit
(a)Kulit dan mukosa oral harus dinilai secara rutin untuk mendeteksi perubahan dalam penampakan, lokasi serta ukuran lesi dan menemukan bukti infeksi serta kerusakan kulit.
(b)Anjurkan pasien sedapat mungkin mempertahankan keseimbangan antara istirahat dan mobilitas. Pasien yang immobile (tidak dapat bergerak) harus dibantu untuk mengubah posisi tubuhnya setiap 2 jam sekali.
(c)Alat-alat seperti kasur dengan tekanan yang berubah-ubah dan tempat tidur khusus (low and high-air loss beds) digunakan untuk mencegah disrupsi kulit.
(d)Pasien diminta untuk tidak menggaruk dan mau menggunakan sabun yang nion abrasive serta tidak membuat kulit menjadi kering, dan memakai pelembab kulit tanpa parfum untuk mencegah kekeringan, kulit. Perawatan oral yang rutin harus dianjurkan pula.
(e)Lotion, salep, dan kasa steril yang dibubuhi obat (medicated) dapat digunakan pada kulit yang sakit sesuai ketentuan dokter. Penggunaan plester harus dihindari.
(f)Permukaan kulit dilindungi terhadap gesekan dengan menjaga agar kain sprei tidak berkerut dan menghindari pemakaian pakaian yang ketat. Pasien dengan lesi kaki dianjurkan menggunakan kaus kaki katun berwarna putih dan sepatu yang tidak membuat kaki berkeringat.
(g)Obat-obat antipruritus, antibiotic dan analgetik diberikan menurut ketentuan medik.
(h)Sering periksa daerah perianal nilai perubahan gangguan integritas kulit dan infeksi. Bersihkan setiap selesai defekasi dengan sabun nonabrasive.

3.2. Meningkatkan kebiasaan defekasi yang lazim.
(a)Nilai pola defekasi
(b)Pantau frekuensi defekasi serta konsistensi feses serta rasa sakit dan kram pada perut berkaitan dengan defekasi.
(c)Nilai faktor-faktor yang membuat diare yang frekuen kambuh kembali, ukur kuantitas dan volume feses, kultur feses dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme pathogen penyebab diare.
(d)Kolaborasi untuk cara-cara mengurangi diare yang perlu dilakukan pasien, pembatasan asupan oral serta control jenis makanan yang boleh di konsumsi.

3.3. Mencegah infeksi.
(a)Kepada pasien dan orang yang merawatnya diminta untuk memantau tanda-tanda infeksi ; seperti gejala demam/panas, menggigil, keringat malam, batuk dengan atau tanpa produksi sputum, napas yang pendek, kesulitan bernapas, rasa sakit pada mulut atau kesulitan menelan, bercak-bercak putih pada rongga mulut, penurunan berat badan, pembengkakan kelenjar limfe, mual, muntah, diare persisten, sering berkemih, sulit untuk mulai dan nyeri saat berkemih, sakit kepala, perubahan visual dan penurunan daya ingat, kemerahan, pembngkakan atau pengeluaran secret pada kulit, lesi vaskuler pada wajah, bibir atau daerah perianal.
(b)Pantau hasil laboratorium yanmg menunjukkan infeksi.
(c)Penyuluhan pasien mencakup strategi pencegahan infeksi.

3.4. Memperbaiki toleransi terhadap aktivitas.

(a)Pantau kemampuan pasien untuk bergerak (ambulasi), dan ADL pasien.
(b)Susun rencana rutinitas harian yang menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat yang mungkin diperlukan.
(c)Berikan terapi relaksasi dan imajinasi.
(d)Kolaborasi untuk pengungkapan penyebab mudah lelah serta strategi menghadapinya.

3.5. Memperbaiki proses berpikir.
Periksa keadaan status mental pasien.
(a)Bantu pasien dan keluarga untuk memahami dan mengatasi semua perubahan yang terjadi dalam proses berpikir.
(b)Lakukan tindakan untuk melindungi pasien dari cedera, seperti ; penempatan lonceng dan tombol pemanggil yang mudah dijangkau.

3.6. Memperbaiki bersihan jalan napas.
(a)Kaji status respiratorius, mencakup frekuensi, irama, penggunaan otot-otot aksesorius dan suara pernapasan.
(b)Lakukan pengambilan specimen sutum untuk dianalisis.
(c)Terapi pulmoner dilakukan sedikitnya setiap dua jam sekali untuk mencegah stasis sekresi dan meningkatkan bersihan jalan napas.
(d)Berikan bantuan dalam merubah posisi.
(e)Berikan kesempatan istirahat yang cukup.
(f)Berikan oksigen yang sudah dilembabkan untuk tindakan pengisapan lender (suctioning) untuk mempertahankan ventilasi yang memadai.

3.7. Meredakan Nyeri dan Ketidaknyamanan.
(a)Nilai kualitas dan kuantitas nyeri pasien yang berkaitan dengan terganggunya integritas kulit perianal, lesi sarcoma Kaposi dan neuropati perifer.
(b)Bersihkan daerah perianal untuk memberikan kenyamanan.
(c)Preparat anastesi topical atau salep dapat diresepkan
(d)Gunakan bantal yang lunak atau busa untuk kenyamanan saat duduk.
(e)Kolaborasi untuk penggunaan preparat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) pada nyeri akibat sarcoma Kaposi. Dan opoid, antidepresan untuk neuropati perifer.

3.8. Memperbaiki status nutrisi.
(a)Pantau berat badan, asupan makanan, hasil pengukuran antropometrik.
(b)Kaji faktor-faktor yang mengganggu asupan oral seperti anoreksia, infeksi kandida pada mulut serta esophagus, mual, nyeri, kelemahan dan keadaan mudah letih seerta intoleransi laktosa.
(c)Berikan obat antiemetik secara teratur untuk mengendalikan mual dan muntah.
(d)Anjurkan pasien memakan makanan yang mudah ditelan dan meghindari makanan yang kasar, pedas ataupun lengket serta terlalu panas atau dingin.
(e)Anjurkan pasien melakukan hygiene oral sebelum dan atau sesudah makan.
(f)Anjurkan pasien istirahat sebelum makan, jika keadaan pasien mudah lelah.
(g)Kolaborasi dengan ahli gizi untuk masalah diet atau asupan gizi yang diperlukan pasien.

3.9. Mengurangi isolasi social.
(a)Lakukan penilaian tingkat interaksi social pasien.
(b)Lakukan tindakan pengendalian infeksi dirumah sakit atau dirumah untuk memberikan kontribusi atas emosi pasien.
(c)Perawat harus memahami dan menerima penderita AIDS dan keluarga serta pasangan seksualnya.
(d)Berikan informasi tentang cara melindungi diri sendiri dan orang lain dapat membantu pasien agar tidak menghindar kontak social.
(e)Pendidikan bagi dokter, perawat akan megurangi faktor-faktor yang turut membuat pasien meras terisolasi.

3.10. Koping terhadap kesedihan.
(a)Bantu pasien mengungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaannya.
(b)Motivasi pasien untuk mempertahankan kontak dengan keluarga serta sahabatnya dan memanfaatkan kelompok-kelompok pendukung AIDS local maupun nasional serta saluran telepon hotline.

3.11. Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah.
(a)Beritahukan kepada keluarga dan sahabat-sahabat pasien tentang cara-cara penularan AIDS. Bicarakan masalah ketakutan dan kesalahpahaman dengan seksama.
(b)Sampaikan tindakan penjagaan yang diperlukan untuk mencegah penularan virus HIV, termasuk penggunaan kondom selama melakukan hubungan seksual.

4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1.Mempertahankan integritas kulit.
2.Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal.
3.Tidak mengalami infeksi.
4.Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap aktivitas.
5.Mempertahankan tingkat proses berpikir yang lazim.
6.Mempertahankan klirens saluran napas yang efektif.
7.Mengalami peningkatan rasa nyaman, penurunan rasa nyeri.
8.Mempertahankan status nutrisi yang memadai.
9.Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan social.
10.Melewati proses kesedihan/dukacita.
11.Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit AIDS serta turut berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kegiatan keperawatan mandiri.tidak adanya komplikasi.

BAB III. PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala.

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Padahal, penyakit-penyakit tersebut misalnya berbagai virus, cacing, jamur protozoa, dan basil tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada orang yang sistem kekebalannya normal. Selain penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena kanker. Dengan demikian, gejala AIDS amat bervariasi.

Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV (Human Immuno-deficiency Virus). Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar infeksi disebabkan HIV-1, sedangkan infeksi oleh HIV-2 didapatkan di Afrika Barat. Infeksi HIV-1 memberi gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai infeksi (masuknya virus ke tubuh) sampai timbulnya penyakit lebih pendek.

Saran
Perawat dari segala bidang pekerjaan dapat diminta untuk memberikan perawatan kepada penderita infeksi HIV. Tantangan yang dihadapi perawat disini bukan hanya tantangan fisik penyakit yang bersifat epidemic tapi juga masalah emosi dan etis. Kekhawatiran, ketakutan akan tertular penyakit tersebut dialami oleh perawat, tetapi di satu sisi itu merupakan tanggung jawab untuk memberikan perawatan, penghargaan terhadap klarifikasi, kerahasiaan pasien.

Perlu diingat bahwa disini perawat tetap bertanggung jawab terhadap kerahasiaan dan privasi pasien. Perawat setiap hari bergelut dengan orang-orang yang sakit dan kematian, dan AIDS adalah penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi, yang kematiannya relative cepat, dan yang terutama adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Maka akan terjadi peningkatan stressor perawat, untuk menghindari itu pahami betul apa yang sedang kita hadapi. Proteksi diri kita sendiri, cegah infeksi dan penularan penyakit tersebut pada saat kita harus berhadapan dengannya, karena itu merupakan tanggungg jawab kita. Jangan sampai menunjukkan perasaan takut dan cemas tersebut dihadapan pasien karena itu sangat tidak etis, sebab kita merupakan orang yang dituntut untuk tahu banyak tentang penyakit AIDS dan pencegahan penularannya.

DAFTAR PUSTAKA

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth ed. 8, EGC, Jakarta, 2001.
Marylinn E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan Ed.3, EGC, Jakarta, 1999.
http://www.mer-c.org/mc/ina/ikes/ikes_0604_aids.htm
http://www. patriani-gift.blogspot.com/2009/02/download-askep-hivaids.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Virus

Selasa, 19 Mei 2009

ASKEP KEJANG DEMAM

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK "A"
DENGAN KEJANG DEMAM
DIRUANG ANAK

Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan.Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. XX Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun 2007 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2008 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya.

Kode File : K031File skripsi ini meliputi :
a. Bab I – V (pendahuluan – penutup) lengkap
b. Daftar Pustaka
Harga : Rp. 100.000,-
add comment...
28 Maret 2009